ASEAN - KOREA FREE TRADE AREA
A. PENDAHULUAN
Saat ini sebagian besar Negara-negara
di dunia berpendapat bahwa perdagangan bebas (free trade) merupakan kebijakan
yang harus mereka tempuh sebagai jalan menuju kesejahteraan. Hal yang sama
dipraktekkan oleh Negara-negara di Regional Asia Tenggara, norma-norma
perdagangan bebas tersebut diupayakan oleh Negara-negara Asia tenggara yang
tergabung dalam organisasi regional Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN) untuk segera terwujud melalui berbagai perjanjian kerjasama. Free Trade
Agreement adalah perjanjian antara dua atau lebih negara di bidang ekonomi yang
diantaranya mencakup penurunan dan atau penghapusan tarif dalamperdagangan
barang. Salah satu kerjasama yang dijalin oleh ASEAN dalam rangka mewujudkan
perdagangan bebas tersebut adalah dengan Republik Korea (Korea Selatan).
Kerjasama tersebut kemudian kita kenal dengan nama ASEAN-Korea Free Trade Area
(AKFTA).
ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA)
merupakan kesepakatan antara negara – Negara anggota ASEAN dengan Korea untuk
mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi
hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan
akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan
aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak AKFTA
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Korea.
1. Sekilas
tentang ASEAN-Korea Free Trade Area
Seperti kerjasama ekonomi lainnya
yang berusaha mewujudkan perdagangan bebas, kerjasama AKFTA ini juga bertujuan
untuk memperlancar arus barang dan modal. Kerjasama ini menjalankan
prinsip-prinsip perdagangan internasional yang dipromosikan oleh rezim
perdagangan global World Trade Organization (WTO). Ciri utama perdagangan bebas
adalah menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik
tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, serta perubahan regulasi
yang memberi keleluasaan pada modal untuk diinvestasikan.
Awal dari kerjasama ini bisa kita
telusuri sejak tahun 1989 ketika pemerintah Korea Selatan dan Pemerintah
Negara-negara anggota ASEAN menginisiasi sebuah forum dialog. Dari forum dialog
itulah kemudian berbagai rencana kerjasama mulai dibangun hingga Korea Selatan
akhirnya menjadi salah satu Negara yang menjadi partner dialog ASEAN pada tahun
1991. Kerjasama antara kedua pihak kemudian berlanjut pada pertemuan KTT
ASEAN-Korea bulan Nopember 2004 di Vientiane, Laos. Para Kepala
Negara/Pemerintahan ASEAN dan Korea Selatan menyepakati “Joint Declaration on
Comprehensive Cooperation Partnership between ASEAN and Korea, establishing
ASEAN-Korea Free Trade Area” sebagai landasan hukum bagi pembentukan ASEAN and
Korea Free Trade Area Framework Agreement.
Persetujuan Penyelesaian Sengketa AKFTA selanjutnya
ditandatangani para Menteri Ekonomi ASEAN dan Korea pada tanggal 13 Desember
2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan Perdagangan Barang AKFTA
ditandatangani pada tanggal 24 Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia,
sedangkan Persetujuan Jasa AKFTA ditandatangani pada saat KTT ASEAN di
Singapura tahun 2007 dan Persetujuan Investasi ASEAN Korea ditandatangani pada
KTT ASEAN Korea pada bulan Juni 2009 di Jeju Island, Korea. AKFTA telah menjadi
sebuah persetujuan FTA yang komprehensif dengan telah ditandatanganinya
persetujuan-persetujuan dibidang perdagangan barang, perdagangan jasa dan
investasi
Dalam Memorandum of Understanding (MoU) dapat kita ketahui
bahwa ada banyak pihak yang terlibat dalam kerjasama ini. Secara umum, actor
utamanya dapat kita klasifikasikan menjadi dua pihak saja yakni ASEAN dan
Pemerintah Korea Selatan. Tetapi ketika berbicara ASEAN berarti kita akan
mendefenisikan aktornya sebagai Negara-negara anggota ASEAN yakni Indonesia,
Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos,
Filipina, dan Myanmar. Dalam jalannya kerjasama ini pemerintah Negara-negara
yang disebutkan di atas adalah actor utama dalam kerjasama ini. Selain
pemerintah, karena ini adalah kerjasama dalam bidang perdagangan maka peran
pihak swasta yang banyak terlibat langsung dalam urusan ini juga menjadi actor
yang patut dipertimbangkan dalam kerjasama ini. Pihak terakhir yang terlibat
dalam kerjasama ini adalah WTO. Hal ini terjadi karena pemerintah-pemerintah
yang yang menginisiasi kerjasama ini menyepakati untuk menggunakan
aturan-aturan di WTO dalam pelaksanaan kerjasama ini.
Kerjasama yang telah dirintis oleh kedua pihak tersebut
bertujuan untuk Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan
investasi antara negara-negara anggota. Lebih lanjut melalui kerjasama ini
kedua pihak mampu meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan
barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk
mempermudah investasi. Selain kedua tujuan di atas kerjasama ini juga bertujuan
untuk menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan
kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negaranegara
anggota. Kerjasama ini juga diharapkan dapat memfasilitasi integrasi ekonomi
yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan
Vietnam) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara
negara-negara anggota.
Dalam perjanjian kerjasama ini pula dapat kita cermati
cakupan atau bidang-bidang apa saja yang akan menjadi objek kerjasama kedua pihak.
Proyek-proyek kerjasama dalam bidang-bidang berikut ini: prosedur kepabeanan;
promosi perdagangan dan investasi; usaha kecil dan menengah; manajemen dan
pengembangan sumber daya manusia pariwisata; ilmu pengetahuan dan teknologi;
Jasa keuangan; teknologi informasi dan komunikasi; komoditas pertanian,
perikanan, peternakan, kehutanan dan perkebunan; kekayaan
Intelektual; industri lingkungan; penyiaran; teknologi konstruksi;
standar dan penilaian kesesuaian dan tindakan-tindakan sanitary and phytosanitary;
pertambangan; energi; sumber daya alam; pembuatan kapal dan angkutan laut; dan
perfilman.
2. Analisis
Kerangka Legal
Berhasil atau tidaknya sebuah
kerjasama sangat bergantung dari derajat kerjasama dalam perjanjian
internasional (legalization) yang disepakati. Legalization menjadi menjadi
penting karena argument-argumen berikut, pertama, legalisasi merupakan bentuk
instusionalisasi atau pelembagaan dari kerjasama tersebut. Yang kedua adalah
karena Konsekuensi utama dari legalisasi bagi kerjasama internasional terletak
pada efek kepatuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang dituangkan dalam
perjanjian kerjasama tersebut. Yang terakhir adalah Legalisasi menunjukkan
adanya keputusan untuk menempatkan legal constrains di hadapan
pemerintah-pemerintah yang telibat kerjasama.
Kuat atau lemahnya derajat perjanjian
internasional bisa dilihat dari tiga hal yakni, Obligasi, Presisi, dan
Delegasi. Obligasi maksudnya adalah seberapa kuat Negara atau actor yang
terikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati. Sedangkan Presisi adalah
seberapa jelas aturan-aturan tersebut dijelaskan, masih multitafsir atau tidak.
Dan yang terakhir adalah delegasi, yang menjadi indicator disini adalah ada
tidaknya pihak ketiga yang diberi otoritas untuk menginterpretasikan aturan-aturan
dan menyelesaikan sengketa. Ketiga hal tersebutlah yang akan kita gunakan untuk
menganalisis kerangka legal dari perjanjian internasional ASEAN dan Republik
Korea ini.
Apabila derajat perjanjian internasional ini ditinjau dari sisi
obligasinya atau seberapa mengikat perjanjian ini bagi Negara-negara yang
menyepakatinya maka kita harus merujuk kepada beberapa pasal dalam perjanjian
ini. Ada beberapa pasal yang menunjukkan bahwa perjanian ini mengikat pihak
yang terkait dengan cukup kuat, seperti pada pasal 2 tentang Perlakuan Nasional
mengenai Perpajakan dan Peraturan Internal yang menyebutkan bahwa “Setiap Pihak
Wajib menerapkan perlakuan nasional terhadap produk-produk dari pihak lainnya
sesuai dengan Pasal III GATT tahun 1994”. Hal yang sama dapat kita lihat
kembali pada pasal 3 tentang Pengurangan dan Penghapusan Tarif. Redaksi poin
pertama pasal tersebut adalah “para pihak diwajibkan agar tingkat tariff MFN
dikurangi secara bertahap” sedangkan pada pasal 6 perjanjian ini tentang
perubahan konsesi pada poin kedua disebutkan “para pihak tidak diperkenankan
untuk menghilangkan atau mengurangi setiap konsesi dalam perjanjian ini,
kecuali pada kasus-kasus yang disebutkan dalam persetujuan ini”. Jadi secara
umum, tingkat obligasi dari perjanjian ini cukup kuat dan mengikat meski ada
pasal yang masih memberikan pengecualian.
Indikator selanjutnya yang digunakan untuk mengukur derajat
perjanjian internasional AKFTA ini adalah Presisi atau ketepatan. Ini dapat
kita ukur dengan melihat seberapa jelas aturan ini di buat, apakah masih bisa
ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pihak. Untuk indikator ini, kita dapat
merujuk pada pasal 11 tentang Pengecualian Umum yang menyebutkan bahwa “Tidak
satupun ketentuan dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan untuk mencegah
suatu pihak mengambil tindakan-tindakan berikut…”. Dengan substansi yang sama
dengan pasal 11 pasal 12 tentang Pengecualian dengan alasan keamanan dijelaskan
bahwa “tidak ada satupun ketentuan dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan
sebagai….”. Pada pasal-pasal yang lain juga sebenarnya aturan-aturan dalam
perjanjian ini dibuat secara jelas untuk menghindari penafsiran yang berbeda
antara pihak-pihak dalam kerjasama ini. Selain itu aturan-aturan dalam pasal
ini juga sangat detail seperti yang terlihat pada lampiran-lampiran pada
perjanjian ini. Jadi, secara umum Presisi dari perjanjian ini cukup jelas meski
tetap mewarisi masalah peraturan WTO yang masih menyisakan beberapa ruang untuk
penafsiran yang berbeda pada urusan proteksi barang dengan berbagai alasan yang
disebutkan dalam Article XX GATT tahun 1994.
Indikator terakhir adalah tentang Delegasi atau
ada tidaknya mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk mengatasi
perbedaan pendapat terkait perjanjian ini. Untuk mengetahui derajat perjanjian
AKFTA ini maka kita harus merujuk pada pasal 19 perjanjian ini yang menjelaskan
tentang Penyelesaian Sengketa. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa “Kecuali
dinyatakan lain dalam perjanjian ini, setiap sengketa mengenai penafsiran,
penerapan dan pelaksanaan persetujuan ini harus melalui mekanisme dan prosedur
penyelesaian sengketa yang ditetapkan dalam persetujuan mengenai mekanisme
penyelesaian sengketa berdasarkan persetujuan kerangka kerja”. Mekanisme
penyelesaian sengketa tersebut telah dijelaskan dalam pedoman mengenai
mekanisme dan prosedur penyelesaian suatu sengketa tersebut telah
ditandatangani oleh Menteri Perdagangan masing-masing negara pada tanggal 13
Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam perjanjian tentang mekanisme penyelesaian sengketa
dijelaskan secara detail cara penyelesaian sengketa ini diawali dengan Jasa
Baik, Konsiliasi dan Mediasi. Apabila melalui ketiga metodologi tersebut
pihak-pihak yang bersengketa gagal bersepakat maka proses selanjunya akan
diserahkan kepada Majelis Arbitrase. Majelis Arbitrase ini beranggotakan tiga
orang anggota yang mana anggota tersebut dipilih oleh pihak yang bersengketa.
Apabila pihak yang bersengketa tidak bisa menyepakati anggota Majelis Arbitrase
dalam kurun waktu tertentu maka ketua dari Majelis itu akan diserahkan
pemilihannya pada Direktur Jendral WTO. Dari gambaran ini dapat kita
klasifikasikan bahwa perjanjian ini memiliki mekanisme penyelesaian sengketa
yang jelas sehingga apabila indikatornya adalah dimensi Delegasi maka dapat
diklasifikasikan sebagai perjanjian internasional yang kuat atau Hard Law.
Jadi dengan melihat indikator-indikator di atas baik Obligasi,
Presisi maupun Delegasi maka secara umum perjanjian internasional ini dapat kita
kategorikan sebagai model perjanjian internasional yang cukup kuat atau Hard
Law. Perjanjian ini dapat dikategorikan sebagai Hard Law meski masih menyisakan
beberapa pengecualian dalam dimensi Obligasi. Selain itu karena menggunakan
aturan-aturan WTO maka perjanjian ini juga masih menyisakan beberapa ruang
untuk penafsiran yang berbeda terutama pada tema kebijakan proteksi dengan
berbagai alasan yang di atur dala Article XX GATT tahun 1994. Tetapi karena
pada dimensi telah memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk
mengatasi perbedaan penafsiran pihak-pihak yang menyepakati perjanjian ini maka
perjanjian ini dapat kita klasifikasikan sebagai Hard Law.
3. Evaluasi
Pelaksanaan Perjanjian ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA)
Keberhasilan perjanjian ini untuk
mewujudkan perdagangan bebas antara kedua pihak ini dimulai dengan
diratifikasinya perjanjian ini oleh masing-masing Negara dalam perjanjian ini.
Konsekuensi dari ratifikasi tersebut adalah perubahan regulasi di masing-masing
Negara untuk menyokong berlakunya perdagangan bebas ini. Perubahan regulasi ini
mendorong actor-aktor dalam bidang perdagangan menjadi mendapat ruang yang
begitu luas untuk melakukan perdagangan dengan Korea Selatan. Selain itu volume
investasi antara kedua pihak juga ikut meningkat.
Sejak perjanjian ini disepakati volume perdagangan antara ASEAN
dan Korea Selatan terus meneingkat setiap tahunnya. Perdagangan antara kedua
kawasan tersebut sebenarnya telah meningkat hingga hampir lipat dua kali dari
US$46,4 miliar pada 2004 menjadi US$90,2 miliar pada 2008. Saat ini Volume
perdagangan Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN jumlahnya telah mencapai
US$ 106 miliar per Mei tahun 2011. Dengan jumlah tersebut ASEAN telah menjadi
mitra dagang terbesar kedua Korea Selatan sejak empat tahun penandatanganan
perdagangan pasar bebas bilateral mulai berlaku. Padahal sebelum
ditandatanganinya perdagangan bebas tersebut, Juni 2007 total volume
perdagangan 10 negara anggota ASEAN hanya berada diperingkat kelima. Volume
perdagangan tersebut diharapkan dapat terus meningkat hingga mencapai US$150
miliar pada 2015.
Bagi Indonesia sendiri menurut Kementerian Perdagangan Indonesia
akan mendapat manfaat dari Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea akan meningkat
pada saat implementasi perjanjian ini akibat penghapusan tarif 70% pos tarif
Korea dalam Normal Track. Produk-produk yang akan dihapuskan tarifnya pada
waktu implementasi, antara lain binatang hidup, ikan, sayuran, minyak sawit,
produk kimia, produk kertas, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, kulit,
produk kayu dan sebagainya. Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea pada tahun
2008 akan meningkat akibat ± 95% pos tariff Korea dalam Normal Track akan
dihapus. Sedangkan Tahun 2010, seluruh pos tariff Korea dalam NT akan dihapuskan,
Sensitive Track AKFTA mencapai 464 pos tariff (HS-6 digit) antara lain
perikanan, beras, gula, wine-alcohol, produk kimia, tekstil, baja, komponen dan
sebagainya.
Perdagangan bebas ini haruslah dilihat dalam konteks bahwa Korea
Selatan berada dalam posisi yang lebih unggul dalam bidang perekonomian
dibanding Negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu perdagangan bebas ini
pastilah memposisikan Korea sebagai pihak yang lebih banyak diuntungkan dengan
terbukanya pasar regional Asia Tenggara maupun Pasar domestic Korea.
Konsekuensinya adalah jumlah barang Korea akan lebih banyak masuk ke dalama
pasar regional ASEAN dibandingkan jumlah barang dari Negara-negara anggota
ASEAN yang masuk ke pasar Korea Selatan.
B. LANDASAN HUKUM & CAKUPAN AKFTA
Pada pertemuan KTT ASEAN-Korea pada
30 Nopember 2004 di Vientiane, Laos para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN dan
Korea menyepakati “Joint Declaration on Comprehensive Cooperation Partnership
between ASEAN and Korea, establishing ASEAN-Korea Free Trade Area” sebagai
landasan hukum bagi pembentukan ASEAN dan Korea FTA. Yaitu, deklarasi Bersama
mengenai Kemitraan Kerjasama Komprehensif antara ASEAN dan Korea, untuk
membentuk suatu ASEAN-Korea Free Trade Area pada tingkat paling awal dengan
pemberlakuan yang khusus dan berbeda dan fleksibilitas tambahan untuk
Negara-negara Anggota ASEAN yang baru yaitu Kerajaan Kamboja, Republik
Demokratik Rakyat Laos, Uni Myanmar dan Republik Sosialis Vietnam dan
berdasarkan deklarasi bersama, masing-masing kepala negara/pemerintahan ASEAN
dan Republik Korea penandatanganan Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi
Menyeluruh antara Pemerintah negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Korea
pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement
On The Comprehensive Economic Co Operation Among The Government Of The Members
Countries Of The Assosiaciation of South East Asian Nation and The Republic of
Korea (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh
Antara Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
Dan Republik Korea); Penetapan/penurunan tarif bea masuk
Modalitas adalah suatu pola penurunan dan atau
penghapusan tarif bea masuk secara bertahap dan terjadual berdasarkan kategori
sensitifitas produk dalam menghadapi liberalisasi perdagangan barang.
Dengan demikian, modalitas secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu kategori
produk dan jadual penurunan dan atau penghapusan tarif bea masuk atas
produk-produk tersebut.
1. Kategori
Produk
Normal Track
(NT), yaitu untuk produk-produk yang berdasarkan sensitifitasnya telah siap
menghadapi liberalisasi sehingga penurunan dan penghapusan tarif bea masuknya
berlangsung secara cepat tapi terjadual.
Sensitive Track (ST), yaitu untuk produk-produk
yang berdasarkan sensitifitasnya belum siap menghadapi liberalisasi dalam waktu
segera. Sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian perdagangan barang,
jumlah maksimum barang yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ST ini untuk
ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan
Thailand) dan Korea adalah sebanyak 10% dari keseluruhan pos tarif pada HS
level 6-digit dan 10% dari nilai impor individu negara-negara ASEAN-6 dari
Korea dan sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan tahun 2004.
Produk-produk yang termasuk ke dalam kategori ST ini selanjutnya
dibagi dua, yaitu:
Sensitive List (SL) dan Highly Sensitive List (HSL) dengan jumlah maksimum untuk
negara-negara ASEAN-6 dan Korea sebanyak 200 pos tarif pada HS level 6-digit
atau 3% dari keseluruhan pos tarif berdasarkan digit HS yang dipilih oleh
masing-masing negara anggota ini dan 3% dari nilai impor individu negara-negara
anggota ASEAN-6 dari Korea dan sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan
tahun 2004.
Produk-produk HSL dibagi atas lima kelompok sebagai berikut:
Kelompok A, yaitu untuk produk-produk yang tarif
bea masuknya diturunkan menjadi 50%
Kelompok B, yaitu untuk produk-produk yang tarif
bea masuknya diturunkan sebanyak 50%,
Kelompok C, yaitu untuk produk-produk yang tarif
bea masuknya diturunkan sebanyak 50%,
Kelompok D, yaitu untuk produk-produk yang
dibebani Tariff Rate Quota (TRQ). TRQ merupakan tarif yang dibebankan
atas produk yang diimpor berdasarkan quota, dimana impor atas jumlah yang belum
mencapai quota berlaku tarif preferensi sesuai dengan skema penjajian
perdagangan barang ini, dan apabila quota sudah terlewati akan berlaku tarif
yang berlaku umum (MFN) di negara pengimpor.
Kelompok E (Exclusion), yaitu untuk produk-produk yang tidak
akan mengalami liberalisasi penurunan/penghapusan tarif bea masuk dalam skema
perjanjian perdagangan barang ini. Jumlah maksimum produk yang dapat
dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah sebanyak 40 pos tarif pada HS level
6-digit.
Framework Agreement dan Persetujuan Penyelesaian
Sengketa AKFTA selanjutnya ditandatangani para Menteri Ekonomi ASEAN dan Korea
pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan
Perdagangan Barang AKFTA ditandatangani pada tanggal 24 Agustus 2006 di Kuala
Lumpur, Malaysia, sedangkan Persetujuan Jasa AKFTA ditandatangani pada saat KTT
ASEAN di Singapura tahun 2007 dan Persetujuan Investasi ASEAN Korea
ditandatangani pada KTT ASEAN Korea pada bulan Juni 2009 di Jeju Island, Korea.
AKFTA telah menjadi sebuah persetujuan FTA yang
komprehensif dengan telah ditanda tanganinya persetujuan-persetujuan dibidang
perdagangan barang, perdagangan jasa dan investasi.
2.
Peraturan Nasional Terkait Persetujuan AKFTA.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive
economic Co-Operation Among The Government of the Member Countries of the
Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2007
tanggal 3 Juli 2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea
Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.011/2007 tanggal 30
Oktober 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.011/2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEANKorea Free
Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.011/2008
tanggal 3 Maret 2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea
Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.011/2008
tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka
ASEANKorea Free Trade Area.
3. PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR 118/PMK.011/2012
TENTANG
PENETAPAN TARIF BEA MASUK DALAM RANGKA ASEAN-KOREA
FREE TRADE AREA (AKFTA)
Menimbang:
A. bahwa dalam rangka meningkatkan kerjasama
ekonomi secara menyeluruh antar negara-negara anggota ASEAN dan Republik Korea,
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Kerangka Kerja
mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea (Framework Agreement on The
Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Members
Countries of The Association of South East Asian Nations and The Republic of
Korea) dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007;
B. bahwa untuk menindaklanjuti persetujuan
kerangka kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a, Pemerintah Republik
Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan
Kerangka Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea (Agreement on Trade
in Goods Under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
Among The Government of The Members Countries of The Association of South East
Asian Nations and The Republic of Korea) dengan Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2007;
C. bahwa berdasarkan modalitas yang termuat dalam
persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, telah dijadualkan skema
penurunan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA);
D. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c diatas, dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA);
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
2. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Framework Agreement on The Comprehensive Economic Cooperation Among
The Government of The Members Countries of The Association of South East Asian
Nations andThe Republic of Korea (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama
Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 51);
3. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Agreement on Trade In Goods Under The Framework Agreement on The
Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Members
Countries of The Association of South East Asian Nations and The Republic of
Korea (Persetujuan Perdagangan Barang Dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai
Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 52);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan
Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor;
Memperhatikan:
Surat Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
1916/M-DAG/SD/12/2011 tanggal 30 Desember 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN TARIF
BEA MASUK DALAM RANGKA ASEAN-KOREA FREE TRADE AREA (AKFTA).
Pasal 1
(1) Menetapkan tarif bea masuk atas impor barang
dari negara Republik Korea dan negara-negara ASEAN dalam rangka ASEAN-Korea
Free Trade Area (AKFTA), sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Terhadap penetapan tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Penetapan tarif bea masuk sebagaimana tercantum
dalam kolom (5) dan kolom (6) Lampiran, merupakan besaran tarif bea masuk dalam
rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) atas impor barang dari semua
negara-negara anggota.
b. Penetapan tarif bea masuk sebagaimana tercantum
dalam kolom (5) Lampiran, mulai berlaku pada tanggal Peraturan Menteri ini
diundangkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
c. Penetapan tarif bea masuk sebagaimana tercantum
dalam kolom (6) Lampiran, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
d. Penetapan besaran tarif bea masuk sebagaimana
tercantum dalam kolom (7) Lampiran, merupakan besaran tarif bea masuk dalam
rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) atas impor barang dari negara
Republik Korea sebagai penerapan asas timbal balik.
e. Dalam hal terdapat penetapan tarif bea masuk
untuk pos-pos tarif pada kolom (5) dan kolom (6) sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang juga ditetapkan pada kolom (7), atas impor barang dari negara
Republik Korea berlaku besaran tarif bea masuk sebagaimana tercantum pada kolom
(7) sebagaimana dimaksud pada huruf d.
Pasal 2
Pengenaan bea masuk berdasarkan penetapan
tarif bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free
Trade Area (AKFTA) yang lebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara
umum, hanya diberlakukan terhadap barang impor yang dilengkapi dengan Surat
Keterangan Asal (Form AK) yang telah ditandatangani oleh pejabat berwenang di
negara-negara bersangkutan;
b. Importir wajib mencantumkan nomor referensi
Surat Keterangan Asal (Form AK) sebagaimana dimaksud pada huruf a dan kode
fasilitas dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA), pada pemberitahuan
impor barang;
c. Lembar asli dari Surat Keterangan Asal (Form
AK) dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) sebagaimana dimaksud pada
huruf a, wajib disampaikan oleh importir pada saat pengajuan pemberitahuan
impor barang sebagaimana dimaksud pada huruf b di Kantor Pabean pada pelabuhan
pemasukan; dan
d. Dalam hal tarif bea masuk yang berlaku secara
umum lebih rendah dari tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area
(AKFTA) sebagaimana tercantum dalam Lampiran, tarif yang berlaku adalah tarif
bea masuk yang berlaku secara umum.
Pasal 3
Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini berlaku
terhadap barang impor yang dokumen pemberitahuan impor barangnya telah
mendapatkan nomor pendaftaran dari Kantor Pabean pelabuhan pemasukan.
Pasal 4
Direktur Jenderal Bea dan Cukai diinstruksikan
untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.011/2009, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
C. TUJUAN ASEAN-KOREA FTA
Memperkuat dan meningkatkan kerjasama
ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.
Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan
perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan
untuk mempermudah investasi.
Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan
mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara
negaranegara anggota.
Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif
dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan
menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
D. PELUANG
Meningkatnya akses pasar produk
ekspor nasional ke Korea Selatan dengan tingkat tarif yang relatif rendah dan pasar
yang luas.
Meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di
kedua negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis”.
Meningkatnya ekspor produk unggulan Indonesia
dalam menjangkau peluang pasar Korea.
Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis
di kedua negara.
E. MANFAAT
Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea
akan meningkat per implementasi akibat penghapusan tarif 70% pos tarif Korea
dalam Normal Track
Produk-produk yang akan dihapuskan tarifnya pada
waktu implementasi, antara lain binatang hidup, ikan, sayuran, minyak sawit,
produk kimia, produk kertas, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, kulit,
produk kayu dan sebagainya.
Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea pada tahun
2008 akan meningkat akibat } 95% pos tariff Korea dalam Normal Track akan
dihapus.
Tahun 2010, seluruh pos tariff Korea dalam NT akan
dihapuskan.
Sensitive Track AKFTA mencapai 464 pos tariff
(HS-6 digit) antara lain perikanan, beras, gula, wine-alcohol, produk kimia,
tekstil, baja, komponen dan sebagainya.
F. TANTANGAN
Indonesia harus dapat meningkatkan
efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk
Korea.
Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka
meningkatkan daya saing.
Memperluas akses pasar.
Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi
informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby.
G. PERSETUJUAN PERDAGANGAN BARANG
I. Modalitas
Implementasi dari dimulai 1 Juli 2006-2010 untuk
Normal Track serta 1 Januari 2012-2016 untuk Sensitive Track.
Liberalisasi di bidang Perdagangan barang (Trade
in Goods), mengadopsi konsep/regime (i) Reciprocal Arrangements, serta (ii)
Rules of Origin (ROO).
Usulan Korea pada tahun 2010 penghapusan tarif
sekurang-kurangnya mencapai 90% dari total pos tarif (tariff lines) bagi ASEAN
6 dan Korea.
Memberikan fleksibilitas jangka waktu yang lebih
lama 5 tahun untuk Negara - negara Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam (CLMV).
Normal Track (NT)
Produk yang masuk kedalam kategori Normal Track
adalah produk yang dipercepat penurunan/penghapusan tarif bea masuknya dengan
tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan antar ASEAN-Korea. Pengaturan
modalitasnya adalah sebagai berikut :
ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand,
Philippina, Brunei) dan Korea batas waktu Normal Track hingga tahun 2010.
Indonesia mendapat fleksibilitas 2 tahun hingga 2012 untuk dapat menghapus
seluruh pos tarif dalam Normal Track.
Viet Nam mendapat tambahan 6 tahun.
Cambodia, Laos dan Myanmar mendapat tambahan 8
tahun.
Sensitive Track (ST)
Produk
yang masuk kedalam kategori Sensitive Track adalah produk yang dianggap
sensitif dan akan diturunkan tarif bea masuknya dengan pola yang lebih lambat
dari produk dalam kategori
Normal Track.
Batas maksimum jumlah pos tarif dalam Sensitive
Track ASEAN 6 & Korea adalah 10% dari total pos tarif (Total HS. 6 Digit =
5.225 pos tarif atau Total HS. 10 Digit = 11.171 pos tarif) dan 10% dari total
nilai impor dari Korea atau dari anggota ASEAN secara keseluruhan, berdasarkan
Data Perdagangan tahun 2004.
Sensitive Track dibagi menjadi 2 yaitu:
(i)
Sensitive List (SL)
- Menurunkan tarif MFN yang berlaku pada Sensitive
List menjadi 20% not later than 1 January 2012.
- Tarif ini akan secara bertahap diturunkan
menjadi 0-5% not later than 1 January 2016.
(ii) Highly
Sensitive List (HSL)
Dengan batas maksimum 200 pos tarif (HS
6-digit) atau 3% dari keseluruhan pos tarif (berdasarkan HS digit yang dipilih)
dan 3% dari total nilai impor individu negara-negara ASEAN dari Korea dan
sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan tahun 2004.
Pola penurunan tarif dalam kerangka ASEAN-Korea
Free Trade Area (AKFTA) dibagi menjadi 2 track, yaitu Normal Track dan
Sensitive Track.
Pengaturan
Timbal Balik (Reciprocal Arrangements)
Jumlah Produk ST Korea setelah dikorelasikan ke
pos tarif Indonesia sebanyak 898 pos tarif. Yang layak untuk dikenakan aturan
timbal bailk sebanyak 665 pos tarif
Sisa yang tidak bisa dikenakan aturan timbal balik
sebanyak 233 produk karena juga termasuk ST dalam pos tarif Indonesia dan/atau
tarif BM MFN nya sudah 0%.
II. Ketentuan Asal Barang
ASEAN dan Korea sepakat menggunakan General Rule
untuk mengatur Rules of Origin suatu barang yaitu dengan menggunakan Regional
Value Content tidak kurang dari 40% FOB (dikenal dengan RVC-40) atau Change of
Tarif Heading (CTH), selain itu menggunakan Product Special Rules (PSR) untuk
produk-produk yang tidak menggunakan general rule.
G. PENYELESAIAN SENGKETA
Untuk menyelesaikan persengketaan
antara negara-negara terkait ASEAN-Korea FTA, telah diatur dalam Persetujuan
Penyelesaian Sengketa. Persetujuan yang memberikan pedoman mengenai mekanisme
dan prosedur penyelesaian suatu sengketa tersebut telah ditandatangani oleh
Menteri Perdagangan masing-masing negara pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala
Lumpur, Malaysia.
H. PERSETUJUAN PERDAGANGAN JASA
Persetujuan
Jasa AKFTA menggunakan komitmen yang terdapat dalam Persetujuan Jasa ASEAN
(AFAS ke-4 Plus Minus) sebagai basis dalam menetapkan komitmen ASEAN dan Korea
untuk sektor jasa. Beberapa contoh dari kriteria plus minus Persetujuan Jasa
AKFTA adalah: (i) AFAS-4 Plus untuk sektor Education dan Energy, dan (ii)
AFAS-4 Minus untuk sektor Professional Business, Transport Services, dan
Financial Service.
I. PERSETUJUAN INVESTASI
Persetujuan Investasi ASEAN Korea
merupakan bagian strategis dari proses pembentukan kawasan perdagangan bebas
ASEAN Korea. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Persetujuan Kerangka Kerja
Menyeluruh ASEAN Korea atau Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation among the Government of the Republic of Korea and The Member
Countries of the Association of Southeast Asian Nations yang telah disepakati
sebelumnya oleh kedua pihak pada tanggal 13 Desember 2005.
Persetujuan
Investasi ASEAN dan Korea akan mulai berlaku 2 bulan setelah Korea dan salah
satu Negara Anggota ASEAN menotifikasikan penyelesaian prosedur domestic kepada
seluruh Pihak. Tujuan pokok dari dibentuknya Persetujuan Investasi ASEAN dan
Korea adalah untuk meningkatkan promosi, fasilitasi, proteksi dan liberalisasi
investasi demi peningkatan arus investasi di kedua wilayah dengan :
menciptakan kondisi investasi yang positif;
mengembangkan sistem dan aturan investasi yang
berdaya saing dan transparan;
mendorong promosi arus investasi dan kerjasama
investasi;
memperbaiki investasi yang transparan dan
kondusif; serta
memberikan perlindungan investasi.
Bagi Indonesia dan Negara-negara Anggota ASEAN lainnya, dengan
ditandatanganinya Persetujuan Investasi ASEAN - Korea tersebut diharapkan akan
sangat menunjang perkembangan ekonomi kedua pihak dimasa mendatang. Berbagai
manfaat dari adanya Persetujuan tersebut tentunya akan mendorong arus penanaman
modal dari Korea sebagai investing country dan Negara-negara Anggota ASEAN
termasuk Indonesia sebagai host country yang pada akhirnya akan membantu upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan yang
semakin terbuka dan juga sekaligus diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
ekonomi.
J. KERJASAMA EKONOMI
Proyek-proyek Kerjasama Ekonomi, ASEAN dan Korea mencakup dalam bidang-bidang
sebagai berikut:
a) prosedur kepabeanan;
b) promosi perdagangan dan investasi;
c) usaha kecil dan menengah ;
d) manajemen dan pengembangan sumber daya manusia;
e) pariwisata;
f) ilmu pengetahuan dan teknologi;
g) jasa keuangan;
h) teknologi informasi dan komunikasi;
i) komoditi pertanian, perikanan, perkebunan dan
kehutanan;
j) kekayaan intelektual;
k) industri lingkungan;
l) penyiaran;
m) teknologi konstruksi;
n) standar dan penilaian kesesuaian, dan tindakan
sanitary dan phytosanitary;
o) pertambangan;
p) energi;
q) sumber daya alam;
r) pembangunan perkapalan dan transportasi laut;
dan perfilman.
K. Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa perjanjian internasional antara
ASEAN dengan Korea Selatan yang bertujuan untuk mendorong terjadinya
perdagangan bebas antara kedua pihak ini merupakan perjanjian yang dapat
dikategorikan sebagai Hard Law. Indikator-indikatornya adalah aturan-aturan
yang cukup jelas dan mengikat meski ada beberapa pengecualian dan potensi
multitafsir pada beberapa pasal. Tetapi mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan
pendapat tersebut dalam perjanjian ini diatue dengan jelas sehingga ada forum
yang punya wewenang untuk menyelesaikan sengketa antar pihak yang terlibat
dalam kerjasama ini.
Karena
kerangka legal perjanjian ini cukup memadai untuk mendorong terwujudnya tujuan
dari kerjasama AKFTA yakni perdagangan bebas sehingga ada peningkatan volume
dagang oleh kedua pihak. Setelah kesepakatan ini diimplementasikan hasilnya
adalah saat ini ASEAN menjadi mitra dagang terbesar urutan kedua bagi Korea
Selatan. Tetapi harus ditekankan bahwa jumlah barang yang berasal dari dan masuk
ke dalam pasar regional Asia Tenggara jauh lebih besar apabila dibandingkan
dengan volume barang dari Negara-negara anggota ASEAN yang masuk ke Korea
Selatan. Selain itu juga perlu diteliti lebih lanjut, apakah kerjasama ini
mampu menggerakkan perekonomian rakyat atau memang direncanakan untuk hanya
menguntungkan segelintir pihak saja.
L. (ARTIKEL)
KUALA
LUMPUR, 5 Juni (Bernama) - Malaysia telah menempatkan 412 pos tarif di bawah
jalur sensitif dalam program liberalisasi tarif dalam Asean-Korea Free Trade
(AKFTA), yang terjadi sejak bulan ini.
Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri
(MITI) mengatakan dari pos tarif total, 356 ditempatkan dalam daftar sensitif
dan 56 di bawah daftar sangat sensitif.
Produk
termasuk besi dan baja, produk karet, produk plastik, produk kimia, otomotif,
tekstil dan pakaian jadi, produk karet, produk diary, mesin dan peralatan
mekanik, dan kaca dan gelas.Rincian produk yang tercakup dalam normal track dan
sensitive track serta jadwal penurunan tarif yang tersedia di situs kementerian
(www.miti.gov.my)
Untuk mendapatkan keuntungan dari
tingkat tarif preferensial di bawah AKFTA, MITI mengatakan bahwa eksportir
harus menyerahkan sertifikat AKFTA asal (yang dapat diperoleh dari kementerian)
kepada otoritas pabean di Korea Selatan.
Sertifikat asal akan dikeluarkan oleh MITI pada
aplikasi, untuk produk-produk yang sesuai dengan aturan AKFTA asal.
MITI mengatakan persyaratan berdasarkan peraturan AKFTA asal
adalah produk yang harus memiliki minimal 40 persen nilai tambah dalam AKFTA
negara atau produk yang telah mengalami transformasi besar mengakibatkan
perubahan dalam pos tarif.
Namun, produk aturan khusus juga berlaku untuk
produk-produk di bawah pertanian, tekstil, pertanian proses, besi dan baja, dan
otomotif.
MITI
mengatakan bahwa importir Malaysia produk dari Korea Selatan akan menikmati
tingkat tarif AKFTA hanya saat diserahkan ke Bea Cukai Malaysia sertifikat
AKFTA asal dikeluarkan oleh yang berwenang yaitu Korea.
Rincian tentang aturan AKFTA asal dan prosedur dan
pedoman untuk penerapan bentuk AKFTA juga tersedia di website MITI.
Bentuk aplikasi dapat dibeli dari Federasi
Produsen Malaysia (FMM) dan semua cabang-cabangnya.
Liberalisasi tarif program di bawah
AKFTA akan dilakukan di bawah normal track dan sensitive track, di mana produk
ditempatkan di jalur sensitif yang lebih diklasifikasikan di bawah daftar
sensitif dan daftar sangat sensitif.
MITI mengatakan tarif atas produk dalam daftar
sensitif akan dikurangi menjadi 20 persen paling lambat Jan 1, 2012, dan
kemudian dikurangi menjadi nol sampai lima persen selambat-lambatnya Jan 1,
2016.
Referensi :
http://www.bilaterals.org/spip.php?article8579
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
http://rulebook-jica.ekon.go.id/indonesia/4820_118_PMK.011_2012_i.html
Afadlal, Annisa Farha Mariana, Ratna Shofi
Inayati, Rahadian T. Akbar, Yasmin Sungkar. 2011. “Ekonomi Politik Kemitraan
ASEAN”: Sebuah Potret Kerja Sama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Cipto, Bambang.2010. “Hubungan Internasional di
Asia Tenggara: teropong terhadap dinamika, realitas, dan masa depan”,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://www.Asiafinest.com/forum/index.php. Diakses pada 18
Juni 2012 pukul 09.30
http://www.fao.org/ag/programs/en/applpi/do carc/ diakses pada 17
Juni 2012 pukul 18.40
http://www.koreatimes.co.kr/wwww/news/special/2008,12/2113761html. Diakses pada 17
Juni 2012 pukul 19.17
http://www.atimes.com/atimes/south-east-asia/1g11aeoihtml. Diakses pada 17
Juni pukul 19.23
Sumber Data : Kementerian Keuangan dan Departemen
Perdagangan (http://skaservices.com)
Forums:
Perjanjian Bilateral
http://iwojima94.blogspot.com/2012/03/surat-keterangan-asal-ska-acfta-ijepa.html?m=1
Copy©right by Pusat Kebijakan Pendapatan Negara-
Badan Kebijakan Fiskal
http://www.tarif.depkeu.go.id/Others/?hi=AK-FTA
ASEAN-Korea Centre Introduction, http://www.aseankorea.org/main/publish/view.jsp?menuID=002001002 , di akses pada
tanggal 20 Juni
ASEAN Mitra Dagang Terbesar Kedua Bagi Korea
Selatan, http://skalanews.com/baca/news/5/12/93147/sektor%20riil/asean_mitra_dagang_terbesar_kedua_bagi_korea_selatan.html ,di akses pada
tanggal 20 Juni
ASEAN-Korea Sepakati Perdagangan Bebas, http://www.kabarbisnis.com/read/283046 , di akses
pada tanggal 20 Juni
2011.ASEAN-Korea Free Trade Area, ditjenkpi.depdag.go.id/…/ASEAN-KOREA/ASEAN%20-%20Korea%20FTA.pdf
, diakses pada tanggal 20 Juni 2011.
ASEAN-Korea Centre Introduction, http://www.aseankorea.org/main/publish/view.jsp?menuID=002001002 , di akses pada
tanggal 20 Juni 2011.
ASEAN-Korea Free Trade Area, ditjenkpi.depdag.go.id/…/ASEAN-KOREA/ASEAN%20-%20Korea%20FTA.pdf
, diakses pada tanggal 20 Juni 2011.
Data diperoleh dan diolah dari ASEAN Mitra Dagang
Terbesar Kedua Bagi Korea Selatan, http://skalanews.com/baca/news/5/12/93147/sektor%20riil/asean_mitra_dagang_terbesar_kedua_bagi_korea_selatan.html dan ASEAN-Korea
Sepakati Perdagangan Bebas, http://www.kabarbisnis.com/read/283046 yang diakses pada 20
Juni 2011.
ASEAN-Korea Free Trade Area, ditjenkpi.depdag.go.id/…/ASEAN-KOREA/ASEAN%20-%20Korea%20FTA.pdf
, diakses pada tanggal 20 Juni 2011.
http://sawingbahar.wordpress.com/2011/06/25/analisis-perjanjian-internasional-asean-korea-free-trade/