Senin, 13 Mei 2013

Anggaran Tenaga Kerja


Anggaran Tenaga Kerja

Sama halnya dengan bahan baku, tenaga kerja yang bekerja pada suatu perusahaan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
1.       Tenaga kerja langsung
Tenaga kerja yang secara langsung berperan dalam proses produksi dan memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Besar-kecilnya biaya berhubungan secara langsung dengan tingkat kegiatan produksi
b.      Biaya yang dikeluarkan merupakan biaya variable
c.       Kegiatan tenaga kerja langsung dihubungkan dengan produk akhir untuk penentuan harga pokok produksi (hpp)
2.       Tenaga kerja tidak langsung
Tenaga kerja yang secara tidak langsung berperan dalam proses produksi dan biayanya dikaitkan dengan biaya overhead pabrik.
Karakteristiknya sebagai berikut :
a.       Besar-kecilnya biaya tidak berhubungan secara langsung dengan tingkat produksi.
b.      Biaya yang dikeluarkan merupakan biaya semi-fixed atau semi-variabel

Anggaran tenaga kerja ini memuat informasi tentang :
a.       Periode waktu
b.       Jenis dan jumlah unit produksi
c.        Standar jam kerja
d.       Standar upah perjam
e.       Total biaya yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja

Factor yang memperngaruhi tenaga kerja :
a.       Kebutuha tenaga kerja
b.      Penarikan tenaga kerja
c.       Latihan tenaga kerja
d.      Spesifikasi pekerjaan bagi tenaga kerja
e.      Gaji dan upah
f.        Pengawasan tenaga kerja

Penyususnan anggaran tenaga kerja :
Secara teknis dapat dipisahkan dalam 2 bentuk, yaitu :
a.       Anggaran jam kerja langsung
Informasi yang dimuat didalamnya :
-          Jenis barang yang dihasilkan
-          Jumlah barang yang diproduksi
-          Bagian-bagian yang dilalui dalam produksi-produksi
-          Jumlah jam buruh langsung untuk setiap jenis barang
-          Waktu (kapan produksi barang dimulai)
b.      Anggaran biaya tenaga kerja langsung
Informasi yang dimuat didalamnya :
-          Jenis barang yang dihasilkan
-          Jumlah barang yang diproduksi
-          Bagian yang dilalui dalam proses produksi
-          Jumlah jam buruh langsung untuk setiap jenis produk
-          Tingkat upah perjam buruh langsung
-          Waktu (kapan produksi barang dimulai)

Manfaat penyusunan anggaran tenaga kerja
a.       Penggunaan tenaga kerja lebih efesien
b.      Pengeluaran atau biaya tenaga dapat diatur lebih efesien
c.       Harga pokok barang dapat dihitung dengan tepat
d.      Sebagai alat pengawasan biaya tenaga kerja

AKFTA


ASEAN - KOREA FREE TRADE AREA

A. PENDAHULUAN

            Saat ini sebagian besar Negara-negara di dunia berpendapat bahwa perdagangan bebas (free trade) merupakan kebijakan yang harus mereka tempuh sebagai jalan menuju kesejahteraan. Hal yang sama dipraktekkan oleh Negara-negara di Regional Asia Tenggara, norma-norma perdagangan bebas tersebut diupayakan oleh Negara-negara Asia tenggara yang tergabung dalam organisasi regional Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) untuk segera terwujud melalui berbagai perjanjian kerjasama. Free Trade Agreement adalah perjanjian antara dua atau lebih negara di bidang ekonomi yang diantaranya mencakup penurunan dan atau penghapusan tarif dalamperdagangan barang. Salah satu kerjasama yang dijalin oleh ASEAN dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas tersebut adalah dengan Republik Korea (Korea Selatan). Kerjasama tersebut kemudian kita kenal dengan nama ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA).

            ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) merupakan kesepakatan antara negara – Negara anggota ASEAN dengan Korea untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak AKFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Korea.

1. Sekilas tentang ASEAN-Korea Free Trade Area
            Seperti kerjasama ekonomi lainnya yang berusaha mewujudkan perdagangan bebas, kerjasama AKFTA ini juga bertujuan untuk memperlancar arus barang dan modal. Kerjasama ini menjalankan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang dipromosikan oleh rezim perdagangan global World Trade Organization (WTO). Ciri utama perdagangan bebas adalah menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, serta perubahan regulasi yang memberi keleluasaan pada modal untuk diinvestasikan.

            Awal dari kerjasama ini bisa kita telusuri sejak tahun 1989 ketika pemerintah Korea Selatan dan Pemerintah Negara-negara anggota ASEAN menginisiasi sebuah forum dialog. Dari forum dialog itulah kemudian berbagai rencana kerjasama mulai dibangun hingga Korea Selatan akhirnya menjadi salah satu Negara yang menjadi partner dialog ASEAN pada tahun 1991. Kerjasama antara kedua pihak kemudian berlanjut pada pertemuan KTT ASEAN-Korea bulan Nopember 2004 di Vientiane, Laos. Para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN dan Korea Selatan menyepakati “Joint Declaration on Comprehensive Cooperation Partnership between ASEAN and Korea, establishing ASEAN-Korea Free Trade Area” sebagai landasan hukum bagi pembentukan ASEAN and Korea Free Trade Area Framework Agreement.
Persetujuan Penyelesaian Sengketa AKFTA selanjutnya ditandatangani para Menteri Ekonomi ASEAN dan Korea pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan Perdagangan Barang AKFTA ditandatangani pada tanggal 24 Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sedangkan Persetujuan Jasa AKFTA ditandatangani pada saat KTT ASEAN di Singapura tahun 2007 dan Persetujuan Investasi ASEAN Korea ditandatangani pada KTT ASEAN Korea pada bulan Juni 2009 di Jeju Island, Korea. AKFTA telah menjadi sebuah persetujuan FTA yang komprehensif dengan telah ditandatanganinya persetujuan-persetujuan dibidang perdagangan barang, perdagangan jasa dan investasi
            Dalam Memorandum of Understanding (MoU) dapat kita ketahui bahwa ada banyak pihak yang terlibat dalam kerjasama ini. Secara umum, actor utamanya dapat kita klasifikasikan menjadi dua pihak saja yakni ASEAN dan Pemerintah Korea Selatan. Tetapi ketika berbicara ASEAN berarti kita akan mendefenisikan aktornya sebagai Negara-negara anggota ASEAN yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Filipina, dan Myanmar. Dalam jalannya kerjasama ini pemerintah Negara-negara yang disebutkan di atas adalah actor utama dalam kerjasama ini. Selain pemerintah, karena ini adalah kerjasama dalam bidang perdagangan maka peran pihak swasta yang banyak terlibat langsung dalam urusan ini juga menjadi actor yang patut dipertimbangkan dalam kerjasama ini. Pihak terakhir yang terlibat dalam kerjasama ini adalah WTO. Hal ini terjadi karena pemerintah-pemerintah yang yang menginisiasi kerjasama ini menyepakati untuk menggunakan aturan-aturan di WTO dalam pelaksanaan kerjasama ini.
            Kerjasama yang telah dirintis oleh kedua pihak tersebut bertujuan untuk Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota. Lebih lanjut melalui kerjasama ini kedua pihak mampu meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi. Selain kedua tujuan di atas kerjasama ini juga bertujuan untuk menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negaranegara anggota. Kerjasama ini juga diharapkan dapat memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
            Dalam perjanjian kerjasama ini pula dapat kita cermati cakupan atau bidang-bidang apa saja yang akan menjadi objek kerjasama kedua pihak. Proyek-proyek kerjasama dalam bidang-bidang berikut ini: prosedur kepabeanan; promosi perdagangan dan investasi; usaha kecil dan menengah; manajemen dan pengembangan sumber daya manusia pariwisata; ilmu pengetahuan dan teknologi; Jasa keuangan; teknologi informasi dan komunikasi; komoditas pertanian, perikanan, peternakan,  kehutanan dan perkebunan; kekayaan Intelektual;  industri lingkungan; penyiaran; teknologi konstruksi; standar dan penilaian kesesuaian dan tindakan-tindakan sanitary and phytosanitary; pertambangan; energi; sumber daya alam; pembuatan kapal dan angkutan laut; dan perfilman.

2. Analisis Kerangka Legal
            Berhasil atau tidaknya sebuah kerjasama sangat bergantung dari derajat kerjasama dalam perjanjian internasional (legalization) yang disepakati. Legalization menjadi menjadi penting karena argument-argumen berikut, pertama, legalisasi merupakan bentuk instusionalisasi atau pelembagaan dari kerjasama tersebut. Yang kedua adalah karena Konsekuensi utama dari legalisasi bagi kerjasama internasional terletak pada efek kepatuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama tersebut. Yang terakhir adalah Legalisasi menunjukkan adanya keputusan untuk menempatkan legal constrains di hadapan pemerintah-pemerintah yang telibat kerjasama.

            Kuat atau lemahnya derajat perjanjian internasional bisa dilihat dari tiga hal yakni, Obligasi, Presisi, dan Delegasi. Obligasi maksudnya adalah seberapa kuat Negara atau actor yang terikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati. Sedangkan Presisi adalah seberapa jelas aturan-aturan tersebut dijelaskan, masih multitafsir atau tidak. Dan yang terakhir adalah delegasi, yang menjadi indicator disini adalah ada tidaknya pihak ketiga yang diberi otoritas untuk menginterpretasikan aturan-aturan dan menyelesaikan sengketa. Ketiga hal tersebutlah yang akan kita gunakan untuk menganalisis kerangka legal dari perjanjian internasional ASEAN dan Republik Korea ini.
Apabila derajat perjanjian internasional ini ditinjau dari sisi obligasinya atau seberapa mengikat perjanjian ini bagi Negara-negara yang menyepakatinya maka kita harus merujuk kepada beberapa pasal dalam perjanjian ini. Ada beberapa pasal yang menunjukkan bahwa perjanian ini mengikat pihak yang terkait dengan cukup kuat, seperti pada pasal 2 tentang Perlakuan Nasional mengenai Perpajakan dan Peraturan Internal yang menyebutkan bahwa “Setiap Pihak Wajib menerapkan perlakuan nasional terhadap produk-produk dari pihak lainnya sesuai dengan Pasal III GATT tahun 1994”. Hal yang sama dapat kita lihat kembali pada pasal 3 tentang Pengurangan dan Penghapusan Tarif. Redaksi poin pertama pasal tersebut adalah “para pihak diwajibkan agar tingkat tariff MFN dikurangi secara bertahap” sedangkan pada pasal 6 perjanjian ini tentang perubahan konsesi pada poin kedua disebutkan “para pihak tidak diperkenankan untuk menghilangkan atau mengurangi setiap konsesi dalam perjanjian ini, kecuali pada kasus-kasus yang disebutkan dalam persetujuan ini”. Jadi secara umum, tingkat obligasi dari perjanjian ini cukup kuat dan mengikat meski ada pasal yang masih memberikan pengecualian.
Indikator selanjutnya yang digunakan untuk mengukur derajat perjanjian internasional AKFTA ini adalah Presisi atau ketepatan. Ini dapat kita ukur dengan melihat seberapa jelas aturan ini di buat, apakah masih bisa ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pihak. Untuk indikator ini, kita dapat merujuk pada pasal 11 tentang Pengecualian Umum yang menyebutkan bahwa “Tidak satupun ketentuan dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan untuk mencegah suatu pihak mengambil tindakan-tindakan berikut…”. Dengan substansi yang sama dengan pasal 11 pasal 12 tentang Pengecualian dengan alasan keamanan dijelaskan bahwa “tidak ada satupun ketentuan dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan sebagai….”. Pada pasal-pasal yang lain juga sebenarnya aturan-aturan dalam perjanjian ini dibuat secara jelas untuk menghindari penafsiran yang berbeda antara pihak-pihak dalam kerjasama ini. Selain itu aturan-aturan dalam pasal ini juga sangat detail seperti yang terlihat pada lampiran-lampiran pada perjanjian ini. Jadi, secara umum Presisi dari perjanjian ini cukup jelas meski tetap mewarisi masalah peraturan WTO yang masih menyisakan beberapa ruang untuk penafsiran yang berbeda pada urusan proteksi barang dengan berbagai alasan yang disebutkan dalam Article XX GATT tahun 1994.
Indikator terakhir adalah tentang Delegasi atau ada tidaknya mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk mengatasi perbedaan pendapat terkait perjanjian ini. Untuk mengetahui derajat perjanjian AKFTA ini maka kita harus merujuk pada pasal 19 perjanjian ini yang menjelaskan tentang Penyelesaian Sengketa. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa “Kecuali dinyatakan lain dalam perjanjian ini, setiap sengketa mengenai penafsiran, penerapan dan pelaksanaan persetujuan ini harus melalui mekanisme dan prosedur penyelesaian sengketa yang ditetapkan dalam persetujuan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan persetujuan kerangka kerja”. Mekanisme penyelesaian sengketa tersebut telah dijelaskan dalam pedoman mengenai mekanisme dan prosedur penyelesaian suatu sengketa tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan masing-masing negara pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam perjanjian tentang mekanisme penyelesaian sengketa dijelaskan secara detail cara penyelesaian sengketa ini diawali dengan Jasa Baik, Konsiliasi dan Mediasi. Apabila melalui ketiga metodologi tersebut pihak-pihak yang bersengketa gagal bersepakat maka proses selanjunya akan diserahkan kepada Majelis Arbitrase. Majelis Arbitrase ini beranggotakan tiga orang anggota yang mana anggota tersebut dipilih oleh pihak yang bersengketa. Apabila pihak yang bersengketa tidak bisa menyepakati anggota Majelis Arbitrase dalam kurun waktu tertentu maka ketua dari Majelis itu akan diserahkan pemilihannya pada Direktur Jendral WTO. Dari gambaran ini dapat kita klasifikasikan bahwa perjanjian ini memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas sehingga apabila indikatornya adalah dimensi Delegasi maka dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian internasional yang kuat atau Hard Law.
Jadi dengan melihat indikator-indikator di atas baik Obligasi, Presisi maupun Delegasi maka secara umum perjanjian internasional ini dapat kita kategorikan sebagai model perjanjian internasional yang cukup kuat atau Hard Law. Perjanjian ini dapat dikategorikan sebagai Hard Law meski masih menyisakan beberapa pengecualian dalam dimensi Obligasi. Selain itu karena menggunakan aturan-aturan WTO maka perjanjian ini juga masih menyisakan beberapa ruang untuk penafsiran yang berbeda terutama pada tema kebijakan proteksi dengan berbagai alasan yang di atur dala Article XX GATT tahun 1994. Tetapi karena pada dimensi telah memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk mengatasi perbedaan penafsiran pihak-pihak yang menyepakati perjanjian ini maka perjanjian ini dapat kita klasifikasikan sebagai Hard Law.

3. Evaluasi Pelaksanaan Perjanjian ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA)
            Keberhasilan perjanjian ini untuk mewujudkan perdagangan bebas antara kedua pihak ini dimulai dengan diratifikasinya perjanjian ini oleh masing-masing Negara dalam perjanjian ini. Konsekuensi dari ratifikasi tersebut adalah perubahan regulasi di masing-masing Negara untuk menyokong berlakunya perdagangan bebas ini. Perubahan regulasi ini mendorong actor-aktor dalam bidang perdagangan menjadi mendapat ruang yang begitu luas untuk melakukan perdagangan dengan Korea Selatan. Selain itu volume investasi antara kedua pihak juga ikut meningkat.
Sejak perjanjian ini disepakati volume perdagangan antara ASEAN dan Korea Selatan terus meneingkat setiap tahunnya. Perdagangan antara kedua kawasan tersebut sebenarnya telah meningkat hingga hampir lipat dua kali dari US$46,4 miliar pada 2004 menjadi US$90,2 miliar pada 2008. Saat ini Volume perdagangan Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN jumlahnya telah mencapai US$ 106 miliar per Mei tahun 2011. Dengan jumlah tersebut ASEAN telah menjadi mitra dagang terbesar kedua Korea Selatan sejak empat tahun penandatanganan perdagangan pasar bebas bilateral mulai berlaku. Padahal sebelum ditandatanganinya perdagangan bebas tersebut, Juni 2007 total volume perdagangan 10 negara anggota ASEAN hanya berada diperingkat kelima. Volume perdagangan tersebut diharapkan dapat terus meningkat hingga mencapai US$150 miliar pada 2015.
Bagi Indonesia sendiri menurut Kementerian Perdagangan Indonesia akan mendapat manfaat dari Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea akan meningkat pada saat implementasi perjanjian ini akibat penghapusan tarif 70% pos tarif Korea dalam Normal Track. Produk-produk yang akan dihapuskan tarifnya pada waktu implementasi, antara lain binatang hidup, ikan, sayuran, minyak sawit, produk kimia, produk kertas, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, kulit, produk kayu dan sebagainya. Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea pada tahun 2008 akan meningkat akibat ± 95% pos tariff Korea dalam Normal Track akan dihapus.  Sedangkan Tahun 2010, seluruh pos tariff Korea dalam NT akan dihapuskan, Sensitive Track AKFTA mencapai 464 pos tariff (HS-6 digit) antara lain perikanan, beras, gula, wine-alcohol, produk kimia, tekstil, baja, komponen dan sebagainya.
Perdagangan bebas ini haruslah dilihat dalam konteks bahwa Korea Selatan berada dalam posisi yang lebih unggul dalam bidang perekonomian dibanding Negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu perdagangan bebas ini pastilah memposisikan Korea sebagai pihak yang lebih banyak diuntungkan dengan terbukanya pasar regional Asia Tenggara maupun Pasar domestic Korea. Konsekuensinya adalah jumlah barang Korea akan lebih banyak masuk ke dalama pasar regional ASEAN dibandingkan jumlah barang dari Negara-negara anggota ASEAN yang masuk ke pasar Korea Selatan.

B. LANDASAN HUKUM & CAKUPAN AKFTA

            Pada pertemuan KTT ASEAN-Korea pada 30 Nopember 2004 di Vientiane, Laos para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN dan Korea menyepakati “Joint Declaration on Comprehensive Cooperation Partnership between ASEAN and Korea, establishing ASEAN-Korea Free Trade Area” sebagai landasan hukum bagi pembentukan ASEAN dan Korea FTA. Yaitu, deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Kerjasama Komprehensif antara ASEAN dan Korea, untuk membentuk suatu ASEAN-Korea Free Trade Area pada tingkat paling awal dengan pemberlakuan yang khusus dan berbeda dan fleksibilitas tambahan untuk Negara-negara Anggota ASEAN yang baru yaitu Kerajaan Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos, Uni Myanmar dan Republik Sosialis Vietnam dan berdasarkan deklarasi bersama, masing-masing kepala negara/pemerintahan ASEAN dan Republik Korea penandatanganan Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Pemerintah negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Korea pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement On The Comprehensive Economic Co Operation Among The Government Of The Members Countries Of The Assosiaciation of South East Asian Nation and The Republic of Korea  (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Korea); Penetapan/penurunan tarif bea masuk
Modalitas adalah suatu pola penurunan dan atau penghapusan tarif bea masuk secara bertahap dan terjadual berdasarkan kategori sensitifitas produk dalam menghadapi liberalisasi perdagangan barang.  Dengan demikian, modalitas secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu kategori produk dan jadual penurunan dan atau penghapusan tarif bea masuk atas produk-produk tersebut.

1.  Kategori Produk
            Normal Track (NT), yaitu untuk produk-produk yang berdasarkan sensitifitasnya telah siap menghadapi liberalisasi sehingga penurunan dan penghapusan tarif bea masuknya berlangsung secara cepat tapi terjadual.
Sensitive Track (ST), yaitu untuk produk-produk yang berdasarkan sensitifitasnya belum siap menghadapi liberalisasi dalam waktu segera.  Sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian perdagangan barang, jumlah maksimum barang yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ST ini untuk ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand) dan Korea adalah sebanyak 10% dari keseluruhan pos tarif pada HS level 6-digit dan 10% dari nilai impor individu negara-negara ASEAN-6 dari Korea dan sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan tahun 2004.

Produk-produk yang termasuk ke dalam kategori ST ini selanjutnya dibagi dua, yaitu:
Sensitive List (SL) dan Highly Sensitive List (HSL) dengan jumlah maksimum untuk negara-negara ASEAN-6 dan Korea sebanyak 200 pos tarif pada HS level 6-digit atau 3% dari keseluruhan pos tarif berdasarkan digit HS yang dipilih oleh masing-masing negara anggota ini dan 3% dari nilai impor individu negara-negara anggota ASEAN-6 dari Korea dan sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan tahun 2004. 
Produk-produk HSL dibagi atas lima kelompok sebagai berikut:
Kelompok A, yaitu untuk produk-produk yang tarif bea masuknya diturunkan menjadi 50%
Kelompok B, yaitu untuk produk-produk yang tarif bea masuknya diturunkan sebanyak 50%,
Kelompok C, yaitu untuk produk-produk yang tarif bea masuknya diturunkan sebanyak 50%,
Kelompok D, yaitu untuk produk-produk yang dibebani Tariff Rate Quota (TRQ).  TRQ merupakan tarif yang dibebankan atas produk yang diimpor berdasarkan quota, dimana impor atas jumlah yang belum mencapai quota berlaku tarif preferensi sesuai dengan skema penjajian perdagangan barang ini, dan apabila quota sudah terlewati akan berlaku tarif yang berlaku umum (MFN) di negara pengimpor.
Kelompok E (Exclusion), yaitu untuk produk-produk yang tidak akan mengalami liberalisasi penurunan/penghapusan tarif bea masuk dalam skema perjanjian perdagangan barang ini.  Jumlah maksimum produk yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah sebanyak 40 pos tarif pada HS level 6-digit.
Framework Agreement dan Persetujuan Penyelesaian Sengketa AKFTA selanjutnya ditandatangani para Menteri Ekonomi ASEAN dan Korea pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan Perdagangan Barang AKFTA ditandatangani pada tanggal 24 Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sedangkan Persetujuan Jasa AKFTA ditandatangani pada saat KTT ASEAN di Singapura tahun 2007 dan Persetujuan Investasi ASEAN Korea ditandatangani pada KTT ASEAN Korea pada bulan Juni 2009 di Jeju Island, Korea.
AKFTA telah menjadi sebuah persetujuan FTA yang komprehensif dengan telah ditanda tanganinya persetujuan-persetujuan dibidang perdagangan barang, perdagangan jasa dan investasi.

2. Peraturan Nasional Terkait Persetujuan AKFTA.
            Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive economic Co-Operation Among The Government of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2007 tanggal 3 Juli 2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area.


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.011/2007 tanggal 30 Oktober 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEANKorea Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.011/2008 tanggal 3 Maret 2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEANKorea Free Trade Area.

3. PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 118/PMK.011/2012
TENTANG
PENETAPAN TARIF BEA MASUK DALAM RANGKA ASEAN-KOREA FREE TRADE AREA (AKFTA)

Menimbang:
A. bahwa dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi secara menyeluruh antar negara-negara anggota ASEAN dan Republik Korea, Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea (Framework Agreement on The Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Members Countries of The Association of South East Asian Nations and The Republic of Korea) dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007;

B. bahwa untuk menindaklanjuti persetujuan kerangka kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a, Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Perdagangan Barang dalam Persetujuan Kerangka Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea (Agreement on Trade in Goods Under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Members Countries of The Association of South East Asian Nations and The Republic of Korea) dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2007;

C. bahwa berdasarkan modalitas yang termuat dalam persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, telah dijadualkan skema penurunan tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA);

D. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c diatas, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA);
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

2. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement on The Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Members Countries of The Association of South East Asian Nations andThe Republic of Korea (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 51);

3. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement on Trade In Goods Under The Framework Agreement on The Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Members Countries of The Association of South East Asian Nations and The Republic of Korea (Persetujuan Perdagangan Barang Dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 52);

4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor;

Memperhatikan:
Surat Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 1916/M-DAG/SD/12/2011 tanggal 30 Desember 2011;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN TARIF BEA MASUK DALAM RANGKA ASEAN-KOREA FREE TRADE AREA (AKFTA).
Pasal 1
(1) Menetapkan tarif bea masuk atas impor barang dari negara Republik Korea dan negara-negara ASEAN dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA), sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Terhadap penetapan tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Penetapan tarif bea masuk sebagaimana tercantum dalam kolom (5) dan kolom (6) Lampiran, merupakan besaran tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) atas impor barang dari semua negara-negara anggota.
b. Penetapan tarif bea masuk sebagaimana tercantum dalam kolom (5) Lampiran, mulai berlaku pada tanggal Peraturan Menteri ini diundangkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
c. Penetapan tarif bea masuk sebagaimana tercantum dalam kolom (6) Lampiran, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.
d. Penetapan besaran tarif bea masuk sebagaimana tercantum dalam kolom (7) Lampiran, merupakan besaran tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) atas impor barang dari negara Republik Korea sebagai penerapan asas timbal balik.
e. Dalam hal terdapat penetapan tarif bea masuk untuk pos-pos tarif pada kolom (5) dan kolom (6) sebagaimana dimaksud pada huruf a yang juga ditetapkan pada kolom (7), atas impor barang dari negara Republik Korea berlaku besaran tarif bea masuk sebagaimana tercantum pada kolom (7) sebagaimana dimaksud pada huruf d.

Pasal 2
Pengenaan bea masuk berdasarkan penetapan tarif bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) yang lebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara umum, hanya diberlakukan terhadap barang impor yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal (Form AK) yang telah ditandatangani oleh pejabat berwenang di negara-negara bersangkutan;
b. Importir wajib mencantumkan nomor referensi Surat Keterangan Asal (Form AK) sebagaimana dimaksud pada huruf a dan kode fasilitas dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA), pada pemberitahuan impor barang;
c. Lembar asli dari Surat Keterangan Asal (Form AK) dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) sebagaimana dimaksud pada huruf a, wajib disampaikan oleh importir pada saat pengajuan pemberitahuan impor barang sebagaimana dimaksud pada huruf b di Kantor Pabean pada pelabuhan pemasukan; dan
d. Dalam hal tarif bea masuk yang berlaku secara umum lebih rendah dari tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) sebagaimana tercantum dalam Lampiran, tarif yang berlaku adalah tarif bea masuk yang berlaku secara umum.

Pasal 3
Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini berlaku terhadap barang impor yang dokumen pemberitahuan impor barangnya telah mendapatkan nomor pendaftaran dari Kantor Pabean pelabuhan pemasukan.

Pasal 4
Direktur Jenderal Bea dan Cukai diinstruksikan untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.011/2009, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

C. TUJUAN ASEAN-KOREA FTA

            Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.
Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.
Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negaranegara anggota.
Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.


D. PELUANG

            Meningkatnya akses pasar produk ekspor nasional ke Korea Selatan dengan tingkat tarif yang relatif rendah dan pasar yang luas.
Meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis”.
Meningkatnya ekspor produk unggulan Indonesia dalam menjangkau peluang pasar Korea.
Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.



E. MANFAAT

            Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea akan meningkat per implementasi akibat penghapusan tarif 70% pos tarif Korea dalam Normal Track
Produk-produk yang akan dihapuskan tarifnya pada waktu implementasi, antara lain binatang hidup, ikan, sayuran, minyak sawit, produk kimia, produk kertas, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, kulit, produk kayu dan sebagainya.
Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea pada tahun 2008 akan meningkat akibat } 95% pos tariff Korea dalam Normal Track akan dihapus.
Tahun 2010, seluruh pos tariff Korea dalam NT akan dihapuskan.
Sensitive Track AKFTA mencapai 464 pos tariff (HS-6 digit) antara lain perikanan, beras, gula, wine-alcohol, produk kimia, tekstil, baja, komponen dan sebagainya.


F. TANTANGAN

            Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk Korea.
Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing.
Memperluas akses pasar.
Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby.


G. PERSETUJUAN PERDAGANGAN BARANG

I. Modalitas
Implementasi dari dimulai 1 Juli 2006-2010 untuk Normal Track serta 1 Januari 2012-2016 untuk Sensitive Track.
Liberalisasi di bidang Perdagangan barang (Trade in Goods), mengadopsi konsep/regime (i) Reciprocal Arrangements, serta (ii) Rules of Origin (ROO).
Usulan Korea pada tahun 2010 penghapusan tarif sekurang-kurangnya mencapai 90% dari total pos tarif (tariff lines) bagi ASEAN 6 dan Korea.
Memberikan fleksibilitas jangka waktu yang lebih lama 5 tahun untuk Negara - negara Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam (CLMV).
Normal Track (NT)
Produk yang masuk kedalam kategori Normal Track adalah produk yang dipercepat penurunan/penghapusan tarif bea masuknya dengan tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan antar ASEAN-Korea. Pengaturan modalitasnya adalah sebagai berikut :
ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philippina, Brunei) dan Korea batas waktu Normal Track hingga tahun 2010. Indonesia mendapat fleksibilitas 2 tahun hingga 2012 untuk dapat menghapus seluruh pos tarif dalam Normal Track.
Viet Nam mendapat tambahan 6 tahun.
Cambodia, Laos dan Myanmar mendapat tambahan 8 tahun.

Sensitive Track (ST)
Produk yang masuk kedalam kategori Sensitive Track adalah produk yang dianggap sensitif dan akan diturunkan tarif bea masuknya dengan pola yang lebih lambat dari produk dalam kategori

Normal Track.

Batas maksimum jumlah pos tarif dalam Sensitive Track ASEAN 6 & Korea adalah 10% dari total pos tarif (Total HS. 6 Digit = 5.225 pos tarif atau Total HS. 10 Digit = 11.171 pos tarif) dan 10% dari total nilai impor dari Korea atau dari anggota ASEAN secara keseluruhan, berdasarkan Data Perdagangan tahun 2004.

Sensitive Track dibagi menjadi 2 yaitu:
(i) Sensitive List (SL)
- Menurunkan tarif MFN yang berlaku pada Sensitive List menjadi 20% not later than 1 January 2012.
- Tarif ini akan secara bertahap diturunkan menjadi 0-5% not later than 1 January 2016.

(ii) Highly Sensitive List (HSL)
Dengan batas maksimum 200 pos tarif (HS 6-digit) atau 3% dari keseluruhan pos tarif (berdasarkan HS digit yang dipilih) dan 3% dari total nilai impor individu negara-negara ASEAN dari Korea dan sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan tahun 2004.
Pola penurunan tarif dalam kerangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) dibagi menjadi 2 track, yaitu Normal Track dan Sensitive Track.

Pengaturan Timbal Balik (Reciprocal Arrangements)
Jumlah Produk ST Korea setelah dikorelasikan ke pos tarif Indonesia sebanyak 898 pos tarif. Yang layak untuk dikenakan aturan timbal bailk sebanyak 665 pos tarif
Sisa yang tidak bisa dikenakan aturan timbal balik sebanyak 233 produk karena juga termasuk ST dalam pos tarif Indonesia dan/atau tarif BM MFN nya sudah 0%.
II. Ketentuan Asal Barang
ASEAN dan Korea sepakat menggunakan General Rule untuk mengatur Rules of Origin suatu barang yaitu dengan menggunakan Regional Value Content tidak kurang dari 40% FOB (dikenal dengan RVC-40) atau Change of Tarif Heading (CTH), selain itu menggunakan Product Special Rules (PSR) untuk produk-produk yang tidak menggunakan general rule.


G. PENYELESAIAN SENGKETA

            Untuk menyelesaikan persengketaan antara negara-negara terkait ASEAN-Korea FTA, telah diatur dalam Persetujuan Penyelesaian Sengketa. Persetujuan yang memberikan pedoman mengenai mekanisme dan prosedur penyelesaian suatu sengketa tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan masing-masing negara pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.


H. PERSETUJUAN PERDAGANGAN JASA

            Persetujuan Jasa AKFTA menggunakan komitmen yang terdapat dalam Persetujuan Jasa ASEAN (AFAS ke-4 Plus Minus) sebagai basis dalam menetapkan komitmen ASEAN dan Korea untuk sektor jasa. Beberapa contoh dari kriteria plus minus Persetujuan Jasa AKFTA adalah: (i) AFAS-4 Plus untuk sektor Education dan Energy, dan (ii) AFAS-4 Minus untuk sektor Professional Business, Transport Services, dan Financial Service.



I. PERSETUJUAN INVESTASI

            Persetujuan Investasi ASEAN Korea merupakan bagian strategis dari proses pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN Korea. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Persetujuan Kerangka Kerja Menyeluruh ASEAN Korea atau Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation among the Government of the Republic of Korea and The Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua pihak pada tanggal 13 Desember 2005.

            Persetujuan Investasi ASEAN dan Korea akan mulai berlaku 2 bulan setelah Korea dan salah satu Negara Anggota ASEAN menotifikasikan penyelesaian prosedur domestic kepada seluruh Pihak. Tujuan pokok dari dibentuknya Persetujuan Investasi ASEAN dan Korea adalah untuk meningkatkan promosi, fasilitasi, proteksi dan liberalisasi investasi demi peningkatan arus investasi di kedua wilayah dengan :

menciptakan kondisi investasi yang positif;
mengembangkan sistem dan aturan investasi yang berdaya saing dan transparan;
mendorong promosi arus investasi dan kerjasama investasi;
memperbaiki investasi yang transparan dan kondusif; serta
memberikan perlindungan investasi.

           
Bagi Indonesia dan Negara-negara Anggota ASEAN lainnya, dengan ditandatanganinya Persetujuan Investasi ASEAN - Korea tersebut diharapkan akan sangat menunjang perkembangan ekonomi kedua pihak dimasa mendatang. Berbagai manfaat dari adanya Persetujuan tersebut tentunya akan mendorong arus penanaman modal dari Korea sebagai investing country dan Negara-negara Anggota ASEAN termasuk Indonesia sebagai host country yang pada akhirnya akan membantu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan yang semakin terbuka dan juga sekaligus diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.


J. KERJASAMA EKONOMI

Proyek-proyek Kerjasama Ekonomi, ASEAN dan Korea mencakup dalam bidang-bidang

sebagai berikut:
a) prosedur kepabeanan;
b) promosi perdagangan dan investasi;
c) usaha kecil dan menengah ;
d) manajemen dan pengembangan sumber daya manusia;
e) pariwisata;
f) ilmu pengetahuan dan teknologi;
g) jasa keuangan;
h) teknologi informasi dan komunikasi;
i) komoditi pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan;
j) kekayaan intelektual;
k) industri lingkungan;
l) penyiaran;
m) teknologi konstruksi;
n) standar dan penilaian kesesuaian, dan tindakan sanitary dan phytosanitary;
o) pertambangan;
p) energi;
q) sumber daya alam;
r) pembangunan perkapalan dan transportasi laut; dan perfilman.




K. Kesimpulan
           
            Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa perjanjian internasional antara ASEAN dengan Korea Selatan yang bertujuan untuk mendorong terjadinya perdagangan bebas antara kedua pihak ini merupakan perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai Hard Law. Indikator-indikatornya adalah aturan-aturan yang cukup jelas dan mengikat meski ada beberapa pengecualian dan potensi multitafsir pada beberapa pasal. Tetapi mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut dalam perjanjian ini diatue dengan jelas sehingga ada forum yang punya wewenang untuk menyelesaikan sengketa antar pihak yang terlibat dalam kerjasama ini.


            Karena kerangka legal perjanjian ini cukup memadai untuk mendorong terwujudnya tujuan dari kerjasama AKFTA yakni perdagangan bebas sehingga ada peningkatan volume dagang oleh kedua pihak. Setelah kesepakatan ini diimplementasikan hasilnya adalah saat ini ASEAN menjadi mitra dagang terbesar urutan kedua bagi Korea Selatan. Tetapi harus ditekankan bahwa jumlah barang yang berasal dari dan masuk ke dalam pasar regional Asia Tenggara jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan volume barang dari Negara-negara anggota ASEAN yang masuk ke Korea Selatan. Selain itu juga perlu diteliti lebih lanjut, apakah kerjasama ini mampu menggerakkan perekonomian rakyat atau memang direncanakan untuk hanya menguntungkan segelintir pihak saja.



L. (ARTIKEL)

            KUALA LUMPUR, 5 Juni (Bernama) - Malaysia telah menempatkan 412 pos tarif di bawah jalur sensitif dalam program liberalisasi tarif dalam Asean-Korea Free Trade (AKFTA), yang terjadi sejak bulan ini.

Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (MITI) mengatakan dari pos tarif total, 356 ditempatkan dalam daftar sensitif dan 56 di bawah daftar sangat sensitif.

            Produk termasuk besi dan baja, produk karet, produk plastik, produk kimia, otomotif, tekstil dan pakaian jadi, produk karet, produk diary, mesin dan peralatan mekanik, dan kaca dan gelas.Rincian produk yang tercakup dalam normal track dan sensitive track serta jadwal penurunan tarif yang tersedia di situs kementerian (
www.miti.gov.my)
            Untuk mendapatkan keuntungan dari tingkat tarif preferensial di bawah AKFTA, MITI mengatakan bahwa eksportir harus menyerahkan sertifikat AKFTA asal (yang dapat diperoleh dari kementerian) kepada otoritas pabean di Korea Selatan.
Sertifikat asal akan dikeluarkan oleh MITI pada aplikasi, untuk produk-produk yang sesuai dengan aturan AKFTA asal.

MITI mengatakan persyaratan berdasarkan peraturan AKFTA asal adalah produk yang harus memiliki minimal 40 persen nilai tambah dalam AKFTA negara atau produk yang telah mengalami transformasi besar mengakibatkan perubahan dalam pos tarif.
Namun, produk aturan khusus juga berlaku untuk produk-produk di bawah pertanian, tekstil, pertanian proses, besi dan baja, dan otomotif.

            MITI mengatakan bahwa importir Malaysia produk dari Korea Selatan akan menikmati tingkat tarif AKFTA hanya saat diserahkan ke Bea Cukai Malaysia sertifikat AKFTA asal dikeluarkan oleh yang berwenang yaitu Korea.

Rincian tentang aturan AKFTA asal dan prosedur dan pedoman untuk penerapan bentuk AKFTA juga tersedia di website MITI.
Bentuk aplikasi dapat dibeli dari Federasi Produsen Malaysia (FMM) dan semua cabang-cabangnya.
            Liberalisasi tarif program di bawah AKFTA akan dilakukan di bawah normal track dan sensitive track, di mana produk ditempatkan di jalur sensitif yang lebih diklasifikasikan di bawah daftar sensitif dan daftar sangat sensitif.
MITI mengatakan tarif atas produk dalam daftar sensitif akan dikurangi menjadi 20 persen paling lambat Jan 1, 2012, dan kemudian dikurangi menjadi nol sampai lima persen selambat-lambatnya Jan 1, 2016.














Referensi :

http://www.bilaterals.org/spip.php?article8579

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
http://rulebook-jica.ekon.go.id/indonesia/4820_118_PMK.011_2012_i.html

Afadlal, Annisa Farha Mariana, Ratna Shofi Inayati, Rahadian T. Akbar, Yasmin Sungkar. 2011. “Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN”: Sebuah Potret Kerja Sama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Cipto, Bambang.2010. “Hubungan Internasional di Asia Tenggara: teropong terhadap dinamika, realitas, dan masa depan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

http://www.Asiafinest.com/forum/index.php. Diakses pada 18 Juni 2012 pukul 09.30

http://www.fao.org/ag/programs/en/applpi/do carc/ diakses pada 17 Juni 2012 pukul 18.40

http://www.koreatimes.co.kr/wwww/news/special/2008,12/2113761html. Diakses pada 17 Juni 2012 pukul 19.17

http://www.atimes.com/atimes/south-east-asia/1g11aeoihtml. Diakses pada 17 Juni pukul 19.23

Sumber Data : Kementerian Keuangan dan Departemen Perdagangan (
http://skaservices.com)
Forums: 
Perjanjian Bilateral
http://iwojima94.blogspot.com/2012/03/surat-keterangan-asal-ska-acfta-ijepa.html?m=1

Copy©right by Pusat Kebijakan Pendapatan Negara- Badan Kebijakan Fiskal
http://www.tarif.depkeu.go.id/Others/?hi=AK-FTA

ASEAN-Korea Centre Introduction, 
http://www.aseankorea.org/main/publish/view.jsp?menuID=002001002 , di akses pada tanggal 20 Juni

ASEAN Mitra Dagang Terbesar Kedua Bagi Korea Selatan, 
http://skalanews.com/baca/news/5/12/93147/sektor%20riil/asean_mitra_dagang_terbesar_kedua_bagi_korea_selatan.html ,di akses pada tanggal 20 Juni

ASEAN-Korea Sepakati Perdagangan Bebas, 
http://www.kabarbisnis.com/read/283046  , di akses pada tanggal 20 Juni

2011.ASEAN-Korea Free Trade Area, 
ditjenkpi.depdag.go.id/…/ASEAN-KOREA/ASEAN%20-%20Korea%20FTA.pdf  , diakses pada tanggal 20 Juni 2011.

ASEAN-Korea Centre Introduction, 
http://www.aseankorea.org/main/publish/view.jsp?menuID=002001002 , di akses pada tanggal 20 Juni 2011.

ASEAN-Korea Free Trade Area, 
ditjenkpi.depdag.go.id/…/ASEAN-KOREA/ASEAN%20-%20Korea%20FTA.pdf  , diakses pada tanggal 20 Juni 2011.

Data diperoleh dan diolah dari ASEAN Mitra Dagang Terbesar Kedua Bagi Korea Selatan, 
http://skalanews.com/baca/news/5/12/93147/sektor%20riil/asean_mitra_dagang_terbesar_kedua_bagi_korea_selatan.html dan ASEAN-Korea Sepakati Perdagangan Bebas, http://www.kabarbisnis.com/read/283046 yang diakses pada 20 Juni 2011.

ASEAN-Korea Free Trade Area, 
ditjenkpi.depdag.go.id/…/ASEAN-KOREA/ASEAN%20-%20Korea%20FTA.pdf  , diakses pada tanggal 20 Juni 2011.

http://sawingbahar.wordpress.com/2011/06/25/analisis-perjanjian-internasional-asean-korea-free-trade/

Variabel Budget


Variabel Budget

Digunakan untuk merencakan lebih rinci biaya yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan (biaya tidak langsung). Budget yang direncanakan lebih terperinci tentang tingkat perubahan biaya sehubungan dengan perubahan aktivitas perusahaan dari waktu ke waktu selama periode yang akan datang.

1.       Biaya tetap
Periode tertentu, jangka waktu tidak berubah, jumlahnya tetap. Contoh : gaji karyawan perbulan, berdasarkan waktu.
2.       Biaya variable
Biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Contih : aktivitas perusahaan naik maka biaya naik. Gai yang harus dibayar perjam, berdasarkan unit.
a.       Variable proposional : biaya variable yang berubah secara sebanding dengan perubahan aktivitas perusahaan.
b.       Variable degresif : biaya yang berubah secara kurang dari sebanding dengan perubahan aktivits perusahaan.
3.       Biaya semi variable
Berdasarkan insentif. Contoh : gaji Rp 10.000.000 , tunjangan Rp 2.000.000
a.       Sifat tetap
b.       Sifat variable

A.      Metode biaya berjaga ; Menghentikan aktivitas perusahaan untuk  mengetahui biaya tetap.
B.      Metode taksiran langsung : Hanya mengandaikan berapa biaya yang harus dikeluarkan jika perusahaan tidak ada aktivitas.
C.       Metode maximum dan minimum : Digunakan untuk memisahkan biaya satuan maximum dan minimum (selisih)
D.      Metode korelasi : dengan menggunakan grafis dan sistematis.


Faktor-faktor yang mempengaruhi penyususnan variable budget
a.       Untuk biaya upah tenaga kerja tidak langsung. Biaya ini dipengaruhi oleh system pembayaran upah yang berlaku dperusahaan.
b.       Untuk biaya bahan pembantu
c.       Untuk biaya pemeliharaan aktiva tetap
d.       Untuk biaya listrik
e.       Untuk beban depresiasi aktiva tetap
f.        Untuk biaya promosi


Bentuk variable budget
1.       Bentuk variable budget yang dengan jelas memperhatikan masing-masing unsur biaya tetap dan biaya variable secara terpisah.
a.       Variable budget berbentuk table
b.       Variable budget berbentuk formua : disusun dalam bentuk formula fungsi sistematis
c.       Variable budget berbentuk grafis
2.       Bentuk variable budget yang tidak memperhatikan masing-masing unsur biaya tetap dan variable secara jelas dan terpisah
a.       metode semi-variabel